Saturday 23 April 2011

Kapan Kita Dapat Menjadi Manusiawi Dan Lebih Peduli?

Hujan deras hampir setiap hari mengguyur Kota ini. Seperti biasa, Toni berangkat mencari sesuap nasi dengan menggunakan sepeda motor bututnya. Di jalan, Toni pun bergabung dengan ribuan pengguna jalan bak para ksatria yang menuju medan laga. Ya, di kota besar seperti Antah Berantah ini, jalan layaknya padang kurusetra yang senantiasa menjanjikan suasana perang.

Guyuran hujan belum berhenti, bahkan langit pun semakin deras menangis. Di bawah guyuran jutaan meter kubik air, ribuan pengendara motor tumpah ruah di jalanan. Salip sana, salip sini, semua saling berlomba dan tidak ada yang mau mengalah, apalagi memberi kesempatan serta ruang bagi orang lain.

Toni pun terbawa dalam arus seperti itu. Yang utama adalah bagaimana Dia memperoleh peluang dan kenyamanan senyaman mungkin. Dengan menggunakan iPod miliknya dia sumpal ke dua lobang telinganya yang hanya sebesar diameter kelingking untuk mendengarkan musik. Hmm.. untung Tuhan menciptakan lubang telinga sebesar itu. Jika Tuhan menciptakan lubang telinga lebih besar sedikit, entah apa yang akan terjadi.

Raungan gitar dan dentuman drum yang muncul dari earphone mampu menutup teriakan bajaj dan lengkingan sepeda motor yang sengaja dihilangkan peredam suaranya. Sejenak Toni dibuat tuli dan acuh dengan keadaan sekitar. Sayangnya suasana nyaman yang dibuatnya itu membuat hati nurani dan kepeduliannya jadi tumpul.

”Brak!!” Seorang Bapak Tua yang mengendarai sepeda motor yang tak kalah bututnya dari motor Toni jatuh, menabrak separator Busway. Dari belakang, tampak jelas bagaimana dia berguling tak berdaya. Untung Bapak itu jatuh di samping jalan sehingga tidak sampai diterjang oleh kendaraan di belakangnya. Toni melihat jelas kejadian yang menimpa bapak naas itu. Terhenyak, namun tidak ada yang bisa dia perbuat. Setelah agak jauh melewati nya, sambil meminggirkan motor, Toni masih melihat orang itu terbaring di pinggir jalan. Tidak ada satu pun orang yang menghampiri, apalagi menolongnya. Alasan semuanya pasti sama. Hujan! Basah! Repot!.

Sejenak Toni memandangi peristiwa yang menantang rasa kemanusiaannya. Dia dihinggapi keraguan, menolong atau tidak. Konsekuensi yang harus dia ambil jika menolong orang tua itu adalah yang pasti dia harus rela makin basah dan tentu menjadi perhatian orang lain (yang saat itu hanya bisa memperhatikan, tanpa ada reaksi sedikitpun untuk menolong).

Ternyata Toni pun tak ubahnya dengan orang lain. Dia memutuskan untuk meninggalkan situasi yang tidak mengenakkan ini. Segera motor dia pacu, pergi dari tempat itu. Kecepatan motor Toni ternyata tidak secepat rasa bersalah yang terus membuntuti. Rasa bersalah itu semakin hingap karena dia sempat berhenti dan berpikir untuk membantu walau tidak jadi dia lakukan. Mungkin lebih enak mereka yang sempat untuk berpikir atau malah memang tidak memperhatikan kejadian tersebut.

Toni berpikir Persentase orang yang tidak memperhatikan pasti sedikit mengingat peristiwa itu terjadi di tengah keramaian. Yang banyak tentu adalah orang yang melihat, namun pura-pura tidak melihat karena tidak mau disibukkan, terutama disibukkan oleh rasa bersalah seperti yang dia alami. Mereka menikmati kenyamanan masing-masing. Dia tidak bisa menyalahkan mereka. Kenyamanan yang semakin sulit diperoleh terkadang terlampau mahal untuk ditukar dengan kepedulian kepada orang lain. Peduli berarti mau repot, mau meninggalkan rasa nyaman, walau sementara.

Sebenarnya kepedulian hanya akan mengambil sedikit dari kenyamanan yang ada. Namun, ternyata kita terlalu sulit berhitung. Tidak mau rugi sedikit pun. Akhirnya menjadi peduli pun terasa begitu sulit.

Saat dunia menjadi semakin sibuk dengan ”ke-aku-an”, dibutuhkan orang-orang yang mau untuk keluar dari diri sendiri dan membudidayakan ”ke-engkauan-an”. Jon Sobrino, seorang pejuang kemanusiaan di Amerika Latin, mengatakan bahwa menjadi peduli berarti mau solider dengan orang lain, terutama dengan mereka yang tertindas dan membutuhkan. Pengalaman di jalan tadi mencabik pikiran Toni dan memunculkan pertanyaan, ” kapan kita dapat semakin manusiawi dan Peduli?”. ”Ah..! maafkan aku Bapak...” lirih Toni menyesali perbuatannya.

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More